03/03/2013

Menjadikan Makan dan Minum Sebagai Aktifitas Ketaqwaan


Khutbah Jum’at 1/3/2013
Masjid As-Salam Majlis Ta’lim PT XL Axiata, Tbk. (MTXL)


05/02/2013

Layanan Dasar Kesehatan di Negara (Maju)

Inggris mungkin tidak lebih baik dari Jepang, terutama dalam hal kemajuan ekonomi, infrastruktur, teknologi dan keramahan orangnya. Namun demikian kedua negara tetap mempunyai tingkat kesamaan dalam kualitas pelayanan publik. Penulis sangat terkesan dengan salah satu jenis  pelayanan publik di kedua negara, terutama dalam hal pelayanan kesehatan. Seperti halnya negara-negara maju lainnya, Inggris dan Jepang mempunyai standar pelayanan kesehatan yang relatif (kalau tidak bisa dikatakan jauh) lebih baik dari kita di Indonesia. Tentunya tidak salah kalau kita belajar untuk menirunya. Beberapa hal yang sangat menarik perhatian penulis adalah seperti berikut:
  • Obat-obatan
Jangan berharap apabila kita pergi ke dokter karena sakit, maka serta merta kita akan diberikan obat apalagi antibiotik. Untuk segala jenis sakit berkategori ringan, seperti pilek, sakit kepala, pusing, panas dingin, dsb, saran dokter hanya satu, istirahat yang cukup. Sangat kontras dengan yang terjadi di kita, di mana dokter biasanya selalu mencecoki kita dengan segala macam obat-obatan (dan antibiotik) dengan sangat mudahnya. Ketika penulis klarifikasi, ternyata bagi mereka obat-obatan kimiawi itu sebenarnya tidak bagus untuk sistem pertahanan tubuh alami kita. Para dokter di sini (baca: Inggris dan Jepang) lebih mengutamakan pertahanan alami dari sistem kekebalan tubuh kita. Jadi ketika dokter di kita seolah memaksakan diri untuk “menjual” obatnya kepada pasiennya (entah karena motif ekonomi atau motif lainnya), para dokter di sini justru sangat menghindari memberikan obat-obatan tersebut. Tentunya untuk kasus penyakit berkategori berat, tidak ada pilihan selain menggunakan obat-obatan (dan teknologi).
  • Database (riwayat medis) pasien
Sistem database pasien adalah sistem pemusatan data dan riwayat medis pasien secara nasional, yang hanya bisa diakses oleh petugas kesehatan berwenang, seperti dokter, pihak asuransi kesehatan, dan tentunya pasien itu sendiri. Dengan database ini, kita bisa datang ke pusat-pusat pelayanan kesehatan mana pun tanpa harus menjelaskan riwayat kesehatan kita secara detail, karena semua terrekam dengan baik. Pengalaman penulis ketika berkonsultasi dengan dokter di General Practitioner atau GP (baca: Puskesmas), petugas pemeriksa darah di rumah sakit dan dokter mata di tiga tempat berbeda, mereka dapat membaca riwayat medis penulis dari sumber (situs NHS) yang sama. Selama masa konsultasi, dokter akan menghabiskan waktu sekitar sepertiganya untuk menginput berbagai data dalam rekam medis pasien, sehingga bisa data selalu terupdate secara realtime.

Sepertinya Indonesia bisa meniru sistem database ini dengan mudah. Apalagi dengan adanya rencana pengembangan sistem informasi kependudukan yang terpusat. Mungkin tidak murah, tetapi juga tidak akan sangat mahal. Semuanya bisa terintegrasi dalam satu masterplan yang utuh. Tidak hanya sektor kesehatan yang diuntungkan, tetapi juga untuk keperluan update dan kebutuhan data akurat pemilih di Pemilu, bukan?. Barangkali koordinasi dan komitmen adalah kata kuncinya.
  • Etika dan kerahasiaan pasien
Terkait database di atas, para petugas kesehatan sangat memegang teguh etika dan kerahasiaan data pasien. Bahkan data tersebut tidak boleh disampaikan kepada siapapun, termasuk kerabat atau teman yang ingin tahu, tanpa seijin pasien atau perintah pengadilan. Sewaktu penulis menemani salah satu teman yang di opname karena menderita sakit di sebuah rumah sakit di Tokyo, penulis tidak pernah diberitahu penyakitnya secara gamblang oleh dokternya. Padahal saat itu penulis berperan sebagai penterjemah dokter untuk keluarga teman yang sakit ini. Belakangan penulis baru menyadari bahwa informasi pasien tersebut sangat dilindungi dan hanya pasiennya sendiri yang bisa mengijinkan apakah penyakitnya boleh diberitahukan atau tidak. Penulis baru mengetahui secara pasti penyakitnya itu setelah yang bersangkutan meninggal di rumah sakit itu, dan setelah istrinya mengijinkan dokter untuk memberitahu jenis penyakitnya.

Barangkali dengan sistem dan tradisi komunal bangsa kita, biasanya kalau kerabat atau teman kita sakit, tentu kita merasa perlu untuk mengetahui secara detail mengenai penyakit yang diderita pasien. Sebabnya adalah sebagai bentuk empati kita terhadap si sakit. Tetapi barangkali kita melupakan bahwa si pasien juga membutuhkan ruang privat yang lebih luas, serta kesiapan mental yang cukup untuk menerima kondisinya diketahui umum. Tidak ada salahnya untuk menghormati privasi si pasien, bukan?
  • Asuransi Kesehatan
Di Indonesia dikenal Askes, Jamkesmas, Kartu Sehat, dan beragam jenis jaminan kesehatan yang menyasar pasien dari golongan ekonomi lemah. Di negara maju, semua warga negara bisa mendapatkan layanan kesehatan secara mudah tanpa birokrasi berbelit dan “cuma-cuma”. Hal ini bisa dilakukan karena negara mengalokasikan anggaran yang cukup untuk pelayanan dasar kesehatan. Isu kesehatan selalu menjadi tradisi yang “menjual” dalam wacana politik domestik mereka. Kesejahteraan dokter dan petugas kesehatan tidak tergantung dari berapa banyak obat yang bisa mereka “jual”. Jadi mereka bisa berkonsentrasi  pada kualitas pelayanan yang mereka berikan. Setiap GP di Inggris akan dinilai kinerjanya dan diranking berdasarkan review dari publik (atau customernya). Sementara di Jepang, dengan kondisi “aging society” dan angka kelahiran yang sangat rendah, pemerintahnya memberikan insentif kepada siapapun yang mau mempunyai keturunan dengan pelayanan gratis dari mulai persiapan dampai melahirkan. Bahkan untuk wilayah Greater Tokyo (tiap prefektur mungkin berbeda kebijakannya), setelah satu hari setelah melahirkan, sang ibu dan keluarganya akan dibekali (sekitar) ¥ 300,000 sebagai bentuk apresiasi pemerintah. Memang Inggris tidak sekaya itu, tetapi pelayanan dasarnya tetaplah sangat terjangkau atau bahkan (hampir) gratis. Tentu kita tidak berharap pemerintah kita melakukan hal yang sama (dalam waktu dekat), apalagi dengan kondisi ekonomi kita serta angka kelahiran kita yang masih di atas 2%. Pelajaran yang bisa diambil adalah bagaimana pemerintah bisa mengefisienkan dan mengalokasikan anggaran untuk kesehatan, sehingga jasa kesehatan menjadi lebih terjangkau, kalau tidak bisa gratis sama sekali.

Dengan tulisan ini, tentu tidak adil apabila kita menilai pelayanan kesehatan kita sedemikian buruk, apalagi jika dibandingkan dengan dua negara tersebut yang notabene lebih maju. Tetapi menjadi suatu pembelajaran apabila kita mau menengok sebentar dan belajar tentang banyak hal yang sebetulnya tidak menguras sumber daya terlalu banyak. Barangkali yang diperlukan adalah cara pandang yang berbeda (dari dokter, petugas kesehatan, dan juga pasien), dan bagaimana mengoptimalkan sumber daya yang kita miliki saat ini. Penulis yakin, kondisi riil Indonesia hanya selangkah di belakang, sehingga tidak menutup kemungkinan untuk melakukan dua atau satu langkah ke depan untuk sekedar menutup kesenjangan pelayanan ini. Bukan (hanya) wacana dan kritik yang kita perlukan, tetapi (barangkali) jauh lebih penting adalah ide segar disertai langkah (konkrit) yang lebih prioritas.

07/01/2013

Menggugah memori publik*

Ketika Sukhoi  Superjet S 100 mengalami kecelakaan di Gunung Salak pertengahan 2012 lalu, banyak pihak yang merasa yakin bahwa masa depan Sukhoi di industri pesawat sipil telah tamat. Setidaknya pemesanan pesawat tersebut oleh beberapa maskapai penerbangan akan terganggu. Publik juga sudah pasti akan terusik dan merasa takut untuk menggunakan jasa pesawat tersebut. Nyatanya pemesanan pesawat tersebut terus dilakukan, dan maskapai pemesan juga merasa yakin dengan keamanan pesawat itu setelah ada penjelasan dari KNKT. Terlepas bahwa ini adalah human error atau bukan, mungkin maskapai ini berharap seiring dengan waktu memori publik akan kembali macet dan melupakan sejarah kelabu dari joyflight dari pesawat ini.

05/01/2013

Mari Membuang Sampah dengan Benar*

Minggu pagi (13/06/2010) penulis dengan istri biasa melakukan rutinitas lari pagi keliling komplek, sambil tentunya "nyabu" (baca: nyarapan bubur). Tiba-tiba serombongan anak-anak bermain dan berlari sambil mengunyah makanan jajanannya.., dan uffss.. tanpa merasa bersalah, mereka membuang plastiknya di jalan yang langsung mengotori jalan. Penulis sudah biasa melihat pemandangan ini.., tidak hanya di jalan, di stasiun, bandara, bahkan di rumah sakit…, tetapi entah kenapa hal itu membuat penulis tertegun sejenak. Mereka berpikir tidak ada yang salah dengan itu, karena memang itu kebiasaan mereka. Bahkan (barangkali) orang-orang dewasa di sekitarnya juga tidak ada yang berpikir salah dengan itu. Padahal (insya Allah tanpa bermaksud menyombongkan diri) si sulung setiap habis jajan es krim atau jajanan lainnya selalu bertanya “ayah.. ini sampahnya dibuang ke mana?’. Sungguh kontras ya?.

19/12/2012

Reuni?? Jang Naon??

Jang naon reuni? Lah paling oge paagul-agul kasuksesan, urang geus jadi ieu, geus boga itu, geus ka nagara ieu ka nagara itu, geus haji dua kali, geus boga pamajikan opat, geus... geus.. Pokona pamer weh lah.
Naha leres kitu reunian teh Akang+Euceu??
Jawabanna pasti SANES !!!

Kanggo naon atuh reunian urang teh?

10/12/2012

Basa jeung sastra sunda

Punten ka akang2 sareng eceu2, bade kumawantun ngiringan posting manawi kaangge.
bilih aya nu peryogi basa sunda kangge murangkalihna, mangga uningaan di didieu Basa jeung sastra sunda
hatur nuhun.